Namitsutiti

Let's enjoy our Fanfiction

[FF Freelance] Remember Me (When The Slave God Fall in Love) Chapter 4

Leave a comment


Akun wattpad : @HermawatiMila
Author : hermawatimila
Genre : Action, Fantasy, Colosal and Romance.
Cast : Kai exo, Lucas nct, Kris ex EXO, Luhan ex- EXO, Baekhyun EXO dan Kristal FX

Kenapa kau tidak percaya padaku

Nara mengerjapkan kedua bola mata tak percaya melihat Hwanin tergeletak di atas pembaringan. Duduk menyandar kuris kayu yang berada di sebelah kiri pembaringan. Sedikit santai tetapi di dalam hatinya penuh kecemasan.

“Apa yang harus ku lakukan? Memanggil polisi atau medis?” Nara frustrasi memandangi wajah Hwanin terlihat semakin memucat dan sebaliknya Nara ingin segera untuk mengusir secepatnya karena telah lama membuat repot dan biang masalah di rumah ini. Hal ini membuat Nara ingin melempar nya jauh – jauh ke samudera agar tidak mengganggunya lagi. Dia begitu kesal dengan alat di rumah yang rusak karena kecerobohan Hwanin yang tidak tahu apa-apa.

Bukan bodoh hanya saja Hwanin itu polos. Dia polos tetapi sok tahu merasa mengetahui cara menggunakan kran air sehingga air meluber dan terjadi pembengkakan pada tarif listrik. Bayangkan sejam saja air tidak dimatikan, kerugian bukan hanya pada massa airnya tetapi pada finansial. Belum lama ini jam weker, kulkas, beberapa barang eletronik mengalami rusak parah juga olehnya sehingga terdeteksi Nara harus mengirim barang itu ke tukang service atau membeli yang baru. Total pengeluaran untuk service saja sudah 5000 Won. Sebentar lagi kantongnya kering.

Beralih pada Nara yang melingkarkan tangannya pada bantalan kursi, tatapannya masih sama tertuju pada tubuh di atas pembaringan. Sejam setelah kran diperbaiki oleh tukang service dan air yang luber telah dikuras. Hwanin belum sadar dari pingsan mendadak Nara dikejutkan oleh cahaya merah yang berasal dari gelas kaca.
Nara meninggalkan sebentar Hwanin dan mengikuti sumber cahaya yang bertemu pada tulip yang ada di dalam gelas kaca, dia merasa tulipnya tidak segar di atas meja.

Tangannya terangkat memegang gelas kaca dan menggantikan wadah yang telah terisi cuka apel. Bunga itu perlahan-lahan kembali segar. Di balik kesegarannya itu Hwanin membuka mata wajah itu tak lagi memucat karena kekurangan oksigen malah sebaliknya dia tampak segar seperti bunga tulip di atas meja Nara. Nara melihat jam melingkar di lengan kanan, jarum pendek berada di pukul sepuluh. Nara merasa liburan nya kali ini terisi oleh job-job lain. Terutama mengurus Hwanin di atas pembaringan.

Pukul sepuluh jadwal berdentang di ponselnya, bercahaya dan berdering sehingga Nara bergegas mengambil ponsel nya di pembaringan Hwanin. Sorot mata Nara terpatut pada layar ponselnya. Pukul sepuluh dia harus mengajar privat anak murid di kelas satu. Sesuai janji pertemuan sebelumnya dengan para orang tua. Mungkin mereka sedang menunggu Nara datang di kelas atau sebaliknya Nara yang telah lama menunggu mereka datang terjebak macet karena hujan. Biasanya Nara akan mendapat pemberitahuan langsung dari emailnya sebelum pergi ke sekolah, Nara menyimpan ponselnya ke dalam tas.

Dia berbalik dan melihat Hwanin sedang menatap Nara perlahan-lahan membuat Nara menyadari kalau Hwanin telah sadar. Dia bangkit. “Kau sudah sadar?”
“Dimana kau menaruh bungaku?” Hwanin bertanya sekilas tampak sedang mencari benda kehidupan itu dari sorot mata Nara. Dia duduk di atas pembaringan sedangkan Nara berdiri melipat kedua tangan.
“Aku…”Nara memutus kalimatnya-“tunggu dulu kenapa kau bertanya? Memangnya apa istimewanya bunga itu untukmu? Kenapa kau terus beralih pertanyaan ke bunga itu terus menerus.” Nara berkacak pinggang telah merasa bosan dengan lemparan pertanyaan semacam itu sejak dia bertemu sampai pertemuan pertengahan ini.

Tidak ada lagi memang pernyataan atau pertanyaan lain selain bunga tulip. Hwanin sungguh teguh pada pertanyaan yang berulang kali. Seharusnya mengucapkan terima kasih atau di mana aku sekarang? Dia tidak seperti orang yang kehilangan kesadaran—bukan?,pikir nya.
“Dia adalah jimatku. Barang itu yang membuatku terus hidup.” Hwanin menegaskan ke Nara, namun gadis itu tetap tidak antusias bahkan ujarannya yang terakhir seperti halusinasi seorang yang sedang sakit.

“Hah? Memangnya kau ini punya dua kehidupan? Aku seperti mendengar supranatural. Aku pikir benturanmu itu sangat keras mengenai kepalamu. Aku akan membawamu ke rumah sakit. Ayo ikut denganku.” Nara langsung menarik Hwanin untuk mengikuti ajakannya.
Tanpa sedikitpun merasa memercayai Hwanin sedikitpun. Dia terkesan seperti acuh dan egois sehingga Hwanin berwajah masam.

Hwanin menepis Nara dan berkata. ” Kau yang seharusnya pergi ke rumah sakit bukan aku. Aku berkata yang sebenarnya kenapa kau tidak percaya juga.”
Nara menggaruk kepala ujaran Hwanin membuat bingung. “Apakah kau percaya aku manusia? Apakah kau tahu apa yang disebut jimat kehidupan? Apakah kau tahu ektensitasnya?”Hwanin berkelakar dengan pernyataannya.
“Kenapa kau bertanya terus.” Nara menimpali.
“Kembalikan bunga itu kepadaku!” Hwanin melotot sehingga membuat Nara menegaskan kalimatnya untuk yang terakhir kalinya yang bercampur dengan kemarahan.
“Baiklah. Dia ada di sana! Aku sudah memberinya tempat yang nyaman. Setelah ini aku ingin kau mengerti. Kau ini tinggal di rumahku. Aku ingin kau kembali ke rumahmu.”
Wajah Hwanin memelas dan berubah kemerahan. Kenapa gadis itu tidak percaya juga. “Aku tidak punya rumah, sejujurnya aku di sini telah terdampar dan dibuang oleh negeriku.”
“Kau mulai memelas lagi.”
“Aku tidak memelas.”Tegas Hwanin yang berkaca-kaca menahan emosi.
“Aku tidak akan percaya begitu saja. Wajahmu itu bahkan tidak meyakinkan. ” Cetus Nara-“Aku akan tetap menyeretmu ke psikiater hari ini.”
“Kenapa kau tidak percaya juga. Bahkan kau anggap aku ini gila.” Hwanin marah dan tak berdaya dengan sikap yang dilakukan oleh Nara.
“Bagaimana mungkin aku dapat percaya dengan orang yang sama sekali berbicara di luar nalarku. Oh ayolah aku sudah bosan dengan obrolan ini.”
“Kau harus ikut aku.” Nara tetap bersikeras tidak ingin melanjutkan perdebatan dan membuka ponselnya yang terus bergetar-Drt-Drt Nara melihat baru saja mendapat pesan masuk dari seseorang. Dia menggeser layarnya.

From Lira
Bu Nara pertemuan les privat ini kita undur yaa. Hujan begitu deras di luar rumah.
Nara diam dan menutup ponselnya beralih pada lelaki yang duduk di pembaringan. “Aku tetap akan membawamu ke psikiater. Kau harus ikut. Kalau kau tak mau. Aku akan tetap panggilkan psikiater kemari.”
“Keras kepala.” Tumpah Nara dengan puas setelah tertahan lama di hati. Nara tidak sedikitpun tergerak hatinya untuk mengikuti permintaan Hwanin. Dia mengangkat ponsel dan menghubungi dua orang di layar kontaknya. Yura dan Dokter Yoona.
***

Mereka duduk di ruang tamu menunggu dokter perempuan keluar dari ruangan yang dianggap terdeteksi itu. Menunggu apa yang sebenarnya telah terjadi dengan lelaki asing di rumah Nara. Yura mengambil secangkir kopi hangat lalu meneguknya. Tatapan Yura masih menjemu di wajah Nara yang cemas.
“Bagaimana? kau sudah menceritakannya dengan jelas Nara?”Yura membuka suara dengan hati-hati karena situasi sedang sensitif.
“Aku menunggu dokter keluar dari sana dulu.” Jawab Nara meremas jemari tangan yang menurut nya kedinginan. Yura terus melihat gerak Nara yang aneh itu.
“Dengar Nara. Kenapa kau menampung tunawisma dan kejiwaan di rumahmu?”
“Aku juga tidak tahu.”Sahutnya lalu diam lagi.
“Hati-hati lelaki itu bisa berbahaya untukmu. Hubungi aku jika kau butuh bantuan. Oh, iya. Kalau kau diperlakukan tidak enak. Hubungi nomer darurat.” Yura menaruh cangkirnya perlahan dan duduk dengan posisi nyaman seperti semula.
“Kenapa harus nomer darurat. Bukan nomermu yang ku hubungi.” Nara menaruh bantalan kursi dan mengambil secangkir kopi.
“Karena kalau nomerku. Aku tidak selalu mengangkatnya. Itu akan berbahaya.” Yura mengenyir.
Sejam lama, kemudian mereka mendengar pintu berdenyit sehingga mereka bergegas berdiri di balik tembok menunggu dokter benar-benar keluar. Dokter Yoona pun akhirnya keluar dari ruangan. Mereka menyengir dan menyapa basa – basi pada saat dokter melihat mereka begitu antusias ingin mendengarkan.

“Dia tidak ingin berbicara. Kalau pasien tidak mau ditangani aku tidak bisa berbuat apa-apa. Sebaiknya Ibu mulai pendekatan untuk memeroleh informasi. Semoga usaha Anda berhasil.” Kata Dr. Yoona berpamitan meninggalkan mereka, jarak pintu keluar tidak begitu jauh dari ruang tamu. Nara mengantar keluar Dr. Yoona meninggalkan Yura yang sedang bersiaga di balik tembok.
Setelah itu Nara dan Yura kembali dibuat penasaran mereka akhirnya mengintip di balik pintu melihat Hwanin yang terdiam di sana. Dia tidak sedikitpun bergerak keluar dari ruangan. Nara sedikit cemas, mengintip dari celah lubang pintu yang terbuka.

“Apa yang sedang dia lakukan?” Yura bertanya.
“Entahlah.” Kata Nara, mereka saling memandang sehingga terungkap oleh Hwanin, dia melihat mereka sedang mengintip di balik pintu dan saat itu juga Nara dan Yura terkejut mendapati Hwanin datang menghampiri mereka sehingga muncul rasa debar yang tidak karuan di dada mereka yang sebentar lagi akan copot. Bulu di tangan mereka terlihat berdiri ketika Hwanin telah berdiri di depan mereka .

Dan apa yang akan mereka katakan untuk Hwanin yang tengah datang menyingkapi aktifitas mereka. Nara agak tidak sadar apa yang harus dia katakan ketika pipi Hwanin mengembang dan bibir yang terkantup rapat serta alis yang saling bertaut.
“Hwanin. Kau sudah baikan?”Yura menyenggol Nara dengan santai mengujari kata-kata yang tidak patut dikeluarkan yang seharusnya tidak pantas diujarkan karena menyinggung perasaan orang. Nara menggigit bibir wajahnya cemas takut Hwanin marah. Mereka berdua tampak cemas tidak karuan.
“Eh-” Yura ingin membuka suara malah tidak dapat melanjutkan karena Hwanin menatap begitu tajam.
“Aku akan pergi dari rumahmu. Jadi jangan khawatir. Lagi pula aku sudah cukup membuat kau Repot.” Hwanin berbicara tanpa memandang Nara. Yura yang melihat tatapan Hwanin yang kosong saat ini sedang menatapnya, dia merasa agak bersalah.
“Jadi kau tidak perlu lagi membawaku ke psikiater.” Yura terus menyenggol Nara untuk mencegahnya.
“Tuan. Kau ingin kemana?” Nara melihat Hwanin berbalik ingin melangkah pergi
“Aku ingin ke kamarmu dulu mengambil tulipku setelah itu aku akan pulang.”
“Bagaimana kalau aku meminta bantuan polisi?” Yura kembali lagi menyenggol Nara yang begitu terang-terangan. Kali ini Yura sedikit sewot karena Nara tidak peka tentang apa yang ingin dibicarakan olehnya.

“Kau ingin aku masuk penjara bukan?” Hwanin menatap datar ke mereka dengan berbalik badan.
“Eh. Bukan begitu.” Timpal Yura yang tiba-tiba sehingga mendapati tatapan Hwanin langsung, Narapun diam. Mereka akhirnya menyengir karena salah tingkah.
“Wajahmu ku tak percaya.” Sahut Hwanin melihat Nara yang menyengir palsu.

To be continued

tinggalkan balasan